“Dalam barang bukti yang ditampilkan Polda Jawa Barat, terdapat buku Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, Jiwa Manusia di Bawah Sosialisme karya Oscar Wilde, Tiga Puisi karya Tsuji Jun, dan puluhan buku dan artikel lainnya.”
(Polisi Sita Buku Karya Franz Magnis Suseno dan Pramoedya dari Tersangka Kasus Kerusuhan, Tempo 2025)
Penyitaan buku menjadi tindakan yang mengherankan, terutama yang terjadi baru-baru ini. Setelah demo besar-besaran yang terjadi di depan gedung DPR, kepolisian menangkap beberapa orang dengan beberapa tuduhan, seperti tindakan anarkisme dan provokasi. Polisi kemudian menyita barang pribadi milik para demonstran yang ditangkap, termasuk di dalamnya yaitu buku. Dalam barang buktinya, Kepolisian Daerah Jawa Barat juga menyita ratusan buku, seperti buku karya Pramoedya Ananta Toer yaitu Anak Semua Bangsa.
Pada masa Orde Baru, semua orang yang memiliki, membaca, dan memperjualbelikan buku-buku yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer (Pram) akan ditahan. Rezim pada masa itu menganggap tulisan-tulisan Pram sebagai bentuk ancaman bagi mereka. Pram sendiri pernah tergabung dalam gerakan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan yang berhaluan kiri, berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemudian, setelah peristiwa G30S PKI pada tahun 1965, PKI dianggap terlibat dalam kejadian tersebut. Pemerintahan Orde Baru pada saat itu melakukan berbagai cara, termasuk tindakan represif untuk menghilangkan segala sesuatu yang berafiliasi dengan PKI.
Melalui pemikiran dan tulisan-tulisannya, Pramoedya Ananta Toer bergabung dalam Lekra. Dalam Kongres Nasional I Lekra di Solo, Pram hadir dan diangkat menjadi pimpinan pusat Lekra walaupun ia belum menjadi anggota resmi lembaga itu. Pada kongres tersebut, Pram juga diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra Indonesia (Lestra) yang merupakan divisi yang menaungi bidang sastra. Setelah bebas dari penjara karena keberpihakannya membela kaum minoritas Tionghoa melalui tulisannya di Hoakiau di Indonesia, Pram mengasuh rubrik Lentera yang terbit dalam surat kabar Bintang Timur pada tahun 1962.
Akibat dari peristiwa G30S PKI, seluruh anggota dan organisasi yang berafiliasi dengan PKI ditangkap, termasuk Lekra, Lestra, dan Lentera. Pram sebagai anggota Lekra kemudian ditangkap dan dipindah-pindahkan, sampai akhirnya berada di Pulau Buru. Dari penjara itu karya tetralogi Pulau Buru, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca dibuat. Pada masa Orde Baru seluruh karya Pram dilarang. Kemudian, setelah reformasi terjadi di Indonesia, beberapa karya yang dulunya dianggap kiri, termasuk buku Bumi Manusia masuk menjadi rekomendasi bacaan untuk siswa SMA terdaftar dalam SIBI (Sistem Informasi Perbukuan Indonesia) sejak tahun 2024.
Saat ini, banyak pihak, termasuk penulis Okky Madasari melihat penyitaan buku yang terjadi baru-baru ini merupakan tindakan kriminalisasi terhadap kebebasan berpikir. Buku merupakan bentuk dari sumber informasi, sehingga menyita dan menganggap buku sebagai ancaman merupakan langkah awal dalam pembatasan informasi bagi seseorang. Berkaitan dengan hal tersebut, pembatasan memperoleh informasi berkaitan dengan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia) yakni pasal 28F UUD 1945 yang menjelaskan bahwa, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
“Compared to scientific language, literary language will appear in some ways deficient. It abounds in ambiguities; it is, like every other historical language, full of homo-nyms, arbitrary or irrational categories such as grammatical gender. It is permeated with historical accidents, memories, and associations. In a word, it is highly ‘connotative’. Moreover, literary language is far from merely referential. It has its expressive side; it conveys the tone and attitude of the speaker or writer. And it does not merely state and express what it says.”
-Theory Of Literature, Wellek and Warren (1989: 23)
Menurut Wellek dan Warren (1989) dalam bukunya yang berjudul Theory Of Literature, karya sastra memiliki makna ganda (polyinterpretable) sekaligus konotatif. Maka dari itu, nilai kemanusiaan di dalam tulisan akan timbul melalui penafsiran pembaca. Oleh karena itu, membaca karya Pramoedya Ananta Toer bisa menghasilkan makna berbeda, tergantung penafsirnya. Jika pembaca mampu melihat sisi humanitasnya, pengalaman membaca menjadi lebih bermakna. Beragamnya interpretasi dari pembaca tersebut membuat sebuah tulisan tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang saja. Artinya, karya sastra yang semula dicurigai beraliran kiri pun, belum tentu seratus persen benar, sebab perspektif tafsir dari pembaca sangat menentukan makna kemanusiaan dalam sastra.