Ilust by: Endah Gunawan
Belakangan ramai dibahas tentang penulisan ulang sejarah dan wawancara Uni Lubis, jurnalis senior di IDN Times dengan Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia. Dalam obrolannya, Fadli Zon menyebutkan bahwa tragedi pemerkosaan di tahun 1998 terhadap perempuan etnis tionghoa hanya hoax tanpa bukti dan juga mengenai sejarah yang ditulis merupakan sejarah positif. Statement tersebut kemudian menarik perhatian dari masyarakat, pasalnya terlihat Menteri Kebudayaan tersebut memberikan narasi yang cukup tendensius. Dalam percakapannya bersama Uni Lubis, Fadli Zon menyampaikan, “Apa yang terjadi? kita kan ngga pernah tau, ada ngga fakta keras? kalau itu kita bisa berdebat. Ada perkosaan masal, betul ngga ada perkosaan masal? Kata siapa itu? ngga pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita, kalau ada tunjukkan. Ada ngga di dalam buku sejarah itu, ngga pernah ada.” Statement yang disampaikan lantas memunculkan perdebatan di tengah masyarakat terutama bagi kaum perempuan. Selain itu, banyak statement yang diberikan seperti tentang penggunaan kembali kata PKI dalam G30S seperti pada masa orde baru, pencapaian Soeharto, dan kebebasan sejarawan dalam menulis ulang sejarah.
Berbicara tentang penulisan ulang sejarah ini dari awal pembuatannya sudah mendapatkan perhatian tidak hanya dari dalam pemerintah tetapi juga dari masyarakat. Didapat dari kanal Youtube TVR Parlemen, Bonnie Triyana, Komisi X DPR RI menyampaikan pendapatnya terhadap penulisan ulang sejarah, “Kita punya pengalaman di masa lalu, dimana sejarah digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Walaupun tidak pernah diklaim sebagai sejarah resmi tetapi versi yang ditulis oleh negara ini bekerja sebagai sejarah resmi.” Lantas apa itu penulisan ulang sejarah? Apa yang bisa terjadi setelah sejarah ditulis ulang?
Pengendalian Sejarah
Penulisan ulang sejarah bukanlah istilah baru atau pertama kali dilakukan. Dalam buku berjudul Melawan Lupa, Menepis Stigma Setelah Prahara 1965 yang ditulis oleh Asvi W. Adam, dijelaskan bahwa pengendalian sejarah dapat melalui dua cara yakni, penambahan unsur tertentu dalam sejarah seperti berkaitan dengan genealogi dan melalui kebisuan sejarah (le silence de i’lhistoire). Menurut Marc Ferro seorang sejarawan Perancis, paling sedikit ada tiga jenis kebisuan sejarah yakni dengan prinsip legitimasi, kondisi masyarakat, menghapus atau menutupi hal – hal memalukan di masa lampau, dan untuk memenuhi kepentingan tertentu. Sebelumnya, Di Jerman pembunuhan terhadap kaum Yahudi (Holocaust) tidak disinggung dalam buku sejarah yang terbit setelah 1945. Baru setelah tahun 1960-an beberapa karya dari penulis seperti buku Night (1960) yang ditulis oleh Elie Wiesel dan sutradara film seperti film Schindler’s List (1993) atau The Pianist (2002) yang kembali mengangkat tentang sejarah yang tidak ditulis tersebut.
Selain di Jerman, sebelumnya penulisan ulang sejarah juga pernah dilakukan di Jepang. Penulisan sejarah ini berkaitan dengan prinsip legitimasi yang menunjukkan bahwa demi kepentingan tertentu sejarah dapat direkayasa. Dalam buku yang ditulis oleh Asvi W. Adam, pada tahun 1968, buku sejarah yang ditulis oleh Ienaga Saburo terbit. Pemerintah Jepang tidak melarang penyebaran buku ini, namun pemerintah meminta supaya dilakukan 216 modifikasi atau penghilangan serta 38 penambahan antara lain karena disana tidak diberikan justifikasi keterlibatan Jepang di dalam Perang Dunia II sejak tahun 1941.
Penulisan ulang sejarah kerap dilakukan untuk memenuhi berbagai kepentingan, seperti dorongan politik, sentimen ideologis, atau pencitraan dalam hubungan diplomatik. Contohnya terjadi di Tiongkok, di mana peristiwa Revolusi Kebudayaan (1966–1976) mengalami reinterpretasi total di bawah kepemimpinan Mao Zedong dan kini dilanjutkan oleh pemerintahan Xi Jinping. Periode tersebut kemudian ditulis ulang sebagai bagian dari diversifikasi menuju “pembangunan ekonomi”. Dalam narasi sejarah versi Xi Jinping, muncul gagasan “nihilisme historis“, yaitu penghapusan keragaman perspektif dalam sejarah Tiongkok. Sejarah diposisikan sebagai milik mutlak partai dan dirinya, sehingga pandangan yang berbeda dianggap sebagai bentuk serangan terhadap ideologi komunis.
Sejarah sangat penting untuk disusun secara objektif tanpa adanya bias untuk mengetahui semua yang benar-benar terjadi. Dalam wawancara bersama dengan tempodotco, Andi Achdian seorang sejarawan dan ketua Asosiasi Sejarah Lintas Batas menyampaikan bahwa Sejarah bukan hanya kumpulan fakta masa lalu, melainkan cara berpikir dan membangun pemahaman kritis tentang kehidupan manusia secara kolektif, guna menata masa depan dan mencegah terulangnya kejadian di masa lalu.
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Seperti yang banyak diketahui bahwa saat ini Direktorat Sejarah di bawah Kementrian Kebudayaan tengah membuat buku tentang penulisan ulang sejarah Indonesia. Fadli Zon menjelaskan bahwa penulisan ulang sejarah ini akan dibuat dengan tone positif mulai dari sejarah awal Indonesia hingga berbagai era kepresidenan mulai dari masa Ir. Soekarno hingga Joko Widodo. “Tapi kita bukan mau menonjolkan sejarah kekurangan. Tetapi, sejarah apa yang telah dilakukan di masa Bung Karno sampai di masa Pak Jokowi.” Ucap Fadli Zon dalam kanal Youtube Liputan 6.
Dalam percakapannya bersama Uni Lubis, Fadli Zon menyebutkan bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia ini dimulai dari bulan Januari 2025 dan ditargetkan rampung pada 17 Agustus 2025 bertepatan dengan 80 tahun Indonesia merdeka, namun sebelum terbit akan melalui uji publik yang diperkirakan dilaksanakan di bulan Juli melalui seminar. Buku tersebut akan tersusun dari 10 jilid yang disusun oleh 113 penulis, 20 editor jilid, dan 3 editor umum yang memiliki background sebagai sejarawan, akademisi ilmu arkeologi, geografi, sejarah, dan humaniora. Diantara penulis tersebut, satu sejarawan yakni Harry Truman Simanjuntak memilih mundur dari penyusunan buku tersebut karena ia menemui beberapa kejanggalan salah satunya konsepsi penulisan sejarah yang mengikuti arahan atasan dimana hal ini dapat menimbulkan penulisan sejarah tunggal. Selain itu, terdapat perubahan terminologi yang menurutnya tidak tepat, dan waktu penyusunan yang menurutnya sangat singkat untuk menulis sejarah yang panjang.
Untuk siapa sejarah ditulis?
Penulisan ulang sejarah Indonesia menuai banyak kritik dan mendapat banyak perhatian terutama dari masyarakat dan ahli sejarah. Melalui kanal Youtube Liputan 6, Fadli Zon menjelaskan bahwa sejarah Indonesia ditulis ulang karena selama 26 tahun penulisan sejarah absen dilakukan, “Karena sejarah Indonesia ini absen ditulis selama 26 tahun. Terakhir ditulis itu tentang era Presiden Habibie.” Alasan penulisan ulang sejarah tersebut kemudian ditanggapi oleh Andi Achdian (Sejarawan & Ketua Asosiasi Sejarah Lintas Batas) dalam wawancaranya bersama Tempo.
Ada istilah yang mengatakan sejarah ditulis oleh pemenang. Dalam hal ini kemudian muncul pertanyaan apakah karena menang maka sejarah ditulis ulang? Di masa yang sedang krisis ini dapat terlihat bahwa Indonesia sedang mengalami naiknya gelombang PHK, sulitnya mencari pekerjaan, naiknya harga tanah dan gaji pekerja yang sedikit, kemiskinan dimana-mana, praktik KKN yang semakin banyak terjadi di dalam tubuh pemerintahan, sampai perusakan lingkungan yang terus terjadi. Lalu manakah yang lebih urgen antara menyelesaikan penulisan ulang sejarah yang memakan dana hingga sembilan miliar rupiah atau fokus memperbaiki kesejahteraan masyarakat? Untuk siapa kemudian sejarah ditulis ulang?. Jauh sebelum penulisan ulang sejarah di tahun 2025 ini ditulis, Soe Hok Gie dalam essay-nya yang dimuat di Kompas dengan judul “Antara Kemerdekaan Intelektuil dan Instruksi Partai” menjelaskan bahwa “Transisi dari Soekarno ke Soeharto bukanlah revolusi, tetapi pergantian elit politik yang tetap saja gagal yang mana diantaranya kemiskinan, korupsi, kekerasan politik, dan juga pembungkaman kebebasan berpikir.” Lebih lanjut lagi Gie menulis “Kita terjebak dalam lingkaran yang sama: Satu kekuasaan jatuh, kekuasaan baru lahir, tapi wataknya sama – menindas, membungkam dan mencurigai rakyat.”