Padepokan Sastra Tan Tular

Negara Mainan: Ketika Kekuasaan Mengabaikan Kemanusiaan

Ilust by : Endah Gunawan

Mungkin kini, siapa pun memang bisa menjalankan negara, asal punya nama, relasi, atau keberanian menipu publik. Pejabat tanpa kompetensi, korupsi merajalela, pendidikan tak terjangkau, suara rakyat dibungkam atas nama stabilitas, dan kemiskinan yang semakin mengakar. Apakah masih ada ruang bagi kemanusiaan di negeri ini? Tahun 2025 menjadi cermin retak bagi bangsa yang lupa bertanya untuk siapa negara ini dijalankan?

Sampai tahun 2025 Indonesia terus-menerus mengulang masalah yang itu-itu saja. Mulai dari masa penjajahan hingga saat ini kemiskinan dan korupsi terus terjadi. Ketidakadilan jelas terlihat berupa ketimpangan sosial dan ekonomi yang terus-menerus berulang. Permasalahan di Indonesia terus bertumbuh. Setiap tahunnya selalu ada berita tentang korupsi, sampah, pendidikan, kesejahteraan, ataupun keamanan rakyat. 

Krisis Kepercayaan terhadap Pemerintah 

Kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang pada akhirnya akan berdampak kepada rakyat. Seperti sedang bermain negara-negaraan, para penyelenggara negara hanya memikirkan kekayaan dan jabatan. Hal tersebut akhirnya memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, yang tecermin dalam berbagai bentuk protes, seperti tagar #IndonesiaGelap, #KaburAjaDulu, sampai demonstrasi yang terus berlangsung di berbagai tempat. Setiap tanggal  1 Mei buruh terus turun ke jalan, setiap hari Kamis banyak orang berkumpul menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM. 

Ketidakpercayaan terhadap pemerintah sebenarnya sudah  muncul sejak tahun-tahun sebelumnya. Dalam harian Kompas 2005, Denny Indrayana menulis bahwa ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap penyelenggara negara amatlah tinggi. Hal tersebut menjadi salah satu ciri masa transisi, masa peralihan dari pemerintah otoriter menuju pemerintah entah ke mana. Masa transisi menyadarkan rakyat bahwa power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely

Ketimpangan yang Nyata 

Sulitnya mencari pekerjaan masih menjadi masalah nasional. Padahal memiliki pekerjaan merupakan kebutuhan krusial bagi masyarakat kelas menengah ke bawah untuk bertahan hidup di tengah tingginya semua harga barang. Kompleksitas kualifikasi dan batasan umur juga membuat kesempatan bekerja semakin tipis. Tuntutan pengalaman kerja pun menjadi hambatan bagi para pencari kerja. 

Berkebalikan dengan kompleksnya mencari pekerjaan di masyarakat, pada tahun 2024 terjadi demo dalam skala nasional akibat batasan umur cawapres yang dimaklumi MK. Selain itu, dilantiknya anggota DPRD termuda yang bahkan belum lulus kuliah membuat ketimpangan sosial kontras terlihat. 

Segala ketimpangan yang terjadi bukan hanya soal angka dalam laporan negara atau tajuk utama media, tetapi soal nyawa dan kehidupan manusia yang diabaikan. Ketika PHK massal terjadi tanpa perlindungan sosial, ketika harga pendidikan melambung dan memutus mimpi anak-anak, ketika layanan kesehatan diprioritaskan berdasarkan status ekonomi, yang dilukai bukan cuma statistik, tetapi kehidupan manusia itu sendiri. 

Rakyat tak lagi dipandang sebagai jiwa yang perlu dilindungi, melainkan angka pasif dalam kalkulasi ekonomi dan politik yang dikuasai segelintir elite. Dalam negara yang katanya berdaulat, terlalu banyak orang yang harus berjuang sendirian untuk sekadar bertahan hidup.

Kemanusiaan dalam Ancaman

Lebih dari itu, upaya membela kemanusiaan pun tak luput dari tekanan. Pada Maret 2025, redaksi Tempo menerima kiriman bangkai hewan yang menjadi sebuah simbol teror terhadap kebebasan pers. Setiap kritik terhadap kekuasaan dibalas intimidasi, mulai dari serangan digital hingga pelabelan sebagai ancaman negara. 

Demonstrasi damai pun tak luput dari represi. Tagar-tagar seperti #ReformasiDikorupsi dan #IndonesiaGelap sering dihapus dari lini masa, suara protes dibanjiri oleh akun-akun anonim yang menyebar ancaman dan disinformasi. Semua media yang bertentangan dengan putusan pemerintah dianggap ancaman kecuali akun X milik fufufafa. Bahkan Aksi Kamisan, yang telah berlangsung konsisten selama lebih dari 18 tahun di depan Istana Negara, masih tidak mendapatkan jawaban. Negara tetap bungkam terhadap tuntutan keluarga korban pelanggaran HAM  berat. Negara bukan hanya gagal melindungi hak hidup, tapi juga aktif menyingkirkan hak rakyat untuk bersuara dan mengingat. 

Di tengah semua kebisingan kekuasaan, satu pertanyaan penting terus menggema: apa yang sebenarnya akan diwariskan pada generasi selanjutnya? Bukan sistem yang adil, bukan ruang hidup yang aman, bukan pula pemerintahan yang jujur. Yang tertinggal justru kebiasaan membungkam, budaya tipu-menipu yang dilegalkan, serta ketidakpedulian yang diwariskan secara sistemik. Publik terus disuguhi janji kosong, pencitraan, dan kebohongan yang disampaikan tanpa rasa malu. 

Di balik semua itu, kemanusiaan perlahan kehilangan tempatnya, terlindas ambisi, dilupakan demi kepentingan sesaat. Maka pertanyaannya bukan lagi apakah negeri ini sedang krisis, tapi masih adakah kemanusiaan yang ingin diperjuangkan bersama? Lalu, selanjutnya harus bagaimana?

Bagikan 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *