Padepokan Sastra Tan Tular

Ulasan Buku : Melawan Lupa, Menepis Stigma (Setelah Prahara 1965)

         Pada tanggal 1 Maret 1949, Serangan Umum terjadi di Yogyakarta. Serangan ini dilatarbelakangi kejadian setelah Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948, yang menyebabkan penaklukan Yogyakarta oleh Belanda dan penangkapan sebagian besar pemimpin Republik Indonesia. Dalam serangan ini, peran Soeharto yang saat itu berpangkat letnan kolonel berusaha dibesar-besarkan.

      Dalam buku pelajaran Sejarah di sekolah, dikesankan bahwa konseptor serangan itu adalah Soeharto. Padahal dua minggu sebelumnya, Soeharto diminta oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk bertandang ke Kraton Yogyakarta. Ide serangan sesungguhnya bermula dari Sri Sultan. Namun, peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX sengaja dihilangkan. Dari serangan tersebut dibuatlah film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1979) yang menonjolkan sosok Soeharto dalam Serangan 1 Maret. Film Serangan Fajar kemudian populer menjadi istilah yang membahasakan politik uang sampai saat ini.

Melawan Lupa, Menepis Stigma (Setelah Prahara 1965)

Judul      : Melawan Lupa, Menepis Stigma (Setelah Prahara 1965)

Penulis   : Asvi Warman Adam

Penerbit : Buku Kompas, 2015 

          Dalam buku ini, Asvi W. Adam mengumpulkan kronologi dan kejadian-kejadian dari berbagai peristiwa di Indonesia yang menimbulkan perdebatan dalam keasliannya. Buku ini memaparkan kisah traumatis para korban akibat terjadinya G30S pada 1965. Penangkapan, penahanan, perburuan, pembunuhan massal, pembuangan paksa, bahkan perlakuan diskriminatif terhadap jutaan keluarga korban 1965 karena dicap “tidak bersih lingkungan”. Selain itu, juga dikisahkan tokoh yang terlibat langsung atau dituding menjadi dalang G30S serta elite yang diuntungkan oleh peristiwa ini. 

         Asvi mengawali pemaparan dalam buku ini dengan kejadian G30S/PKI 1965 yang berdampak tidak hanya di Indonesia, tetapi hingga pada masyarakat Indonesia di luar negeri yang hingga kini menjadi orang terbuang atau manusia eksil.  Penulis tidak hanya membahas kejadian 1965 terbatas pada PKI saja, tetapi juga tentang  kisah perempuan yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Asvi juga banyak membahas peran Soeharto dalam proses legitimasi historis di Indonesia seperti dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

          Buku ini membahas banyak peristiwa dari sudut pandang lain yang tentu saja tidak ditemukan dalam buku pelajaran di sekolah. Menariknya, Asvi mengemas tulisannya dengan ekspresif sehingga pembaca dapat merasakan emosi yang menguar dari peristiwa. Meskipun topik pembahasan bersifat berat dan sangat kompleks, tetapi bahasa yang digunakan mudah untuk dicerna.

Tragedi 13 Perempuan Kiri

        Bagian yang menarik dari buku ini yakni pada bab Tragedi 13 Perempuan Kiri, penulis menjelaskan bahwa dampak dari peristiwa G30S/PKI dirasakan oleh seluruh organisasi yang berafiliasi dengan PKI, seperti Gerwani dan Pemuda Rakyat. Di Lubang Buaya memang terjadi “Pesta Harum Bunga”. Melalui bab ini, Asvi menuliskan pula peran pemerintah dan militer dalam menggiring opini publik melalui pelarangan surat kabar selain surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha untuk menciptakan opini publik yang menyudutkan PKI dan organisasi yang mendukungnya. 

        Tidak hanya menuliskan mengenai kronologi dan peristiwa pada tahun 1965, di awal bukunya Asvi juga menjelaskan mengenai teori yang berkaitan dengan proses pengendalian sejarah. Oleh karenanya, saat membaca bab berikutnya, pembaca akan memahami prinsip legitimasi yang kerap dilakukan untuk mengendalikan sejarah, bahkan di beberapa negara selain Indonesia. 

     Pada bab ini, Asvi menuliskan hal yang menjadi penyebab sampai akhirnya lagu Genjer-Genjer dilarang dinyanyikan dan dikaitkan dengan organisasi PKI. Lagu ini dianggap memiliki indikasi bahwa pembunuhan terhadap para jenderal telah direncanakan sebelumnya. Selain buku ini, kisah tentang anggota Gerwani juga dipaparkan dalam beberapa dokumentasi, seperti tulisan Anne Pohlman A Fragment of Story: Gerwani and Tapol Experiencesdan wawancara terhadap 13 perempuan aktivis Gerwani dalam buku Fransisca Ria Susanti, Kembang-Kembang Genjer”. 

        Merawat ingatan sangat dibutuhkan, terutama saat pemangku kebijakan hanya ingin memotret hal baik saja dari sejarah Indonesia saat ini. Melawan Lupa, Menepis Stigma mengingatkan pembaca agar sejarah hitam 1965 dan kejadian besar lainnya di Indonesia tidak terulang kembali. Terlebih lagi, supaya stigma buruk kepada korban dan keluarganya yang berkepanjangan dapat dihentikan. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *